Kota Banjarmasin (Latin: Bandiermasinensis) adalah salah satu kota sekaligus merupakan ibu kota dari provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia.
Kota Banjarmasin merupakan Pusat Kegiatan Wilayah (PKW), sebagai Kota
Pusat Pemerintahan (Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan) serta sebagai
pintu gerbang nasional dan kota-kota pusat kegiatan ekonomi nasional.
Juga merupakan kota penting di wilayah Kalimantan Selatan yang saat ini memiliki posisi yang sangat strategis secara geografis. Sudah selayaknya Kota Banjarmasin ditingkatkan statusnya menjadi Pusat Kegiatan Nasional di masa mendatang.
Juga merupakan kota penting di wilayah Kalimantan Selatan yang saat ini memiliki posisi yang sangat strategis secara geografis. Sudah selayaknya Kota Banjarmasin ditingkatkan statusnya menjadi Pusat Kegiatan Nasional di masa mendatang.
Kota yang terpadat di Kalimantan ini termasuk salah satu kota besar di Indonesia, walau luasnya yang terkecil di Kalimantan, yakni luasnya lebih kecil daripada Jakarta Barat. Kota yang dijuluki kota seribu sungai
ini merupakan sebuah kota delta atau kota kepulauan sebab terdiri dari
sedikitnya 25 buah pulau kecil (delta) yang merupakan bagian-bagian kota
yang dipisahkan oleh sungai-sungai diantaranya pulau Tatas, pulau Kelayan, pulau Rantauan Keliling, pulau Insan dan lain-lain.
SEJARAH BANJAR
Penduduk asli Kalimantan Selatan umumnya
suku bangsa Banjar yang intinya terdiri dari sub suku, yaitu Maayan,
Lawangan dan Bukiat yang mengalami percampuran dengan suku bangsa
Melayu, Jawa dan Bugis. Identitas utama yang terlihat adalah bahasa
Banjar sebagai media umum. Penduduk pendatang seperti Jawa, Melayu,
Madura, dan Bugis sudah lama datang ke Kalimantan Selatan. Suku bangsa
Melayu datang sejak zaman Sriwijaya atau sebagai pedagang yang menetap,
suku bangsa Jawa datang pada periode Majapahit bahkan sebelumnya, dan
orang Bugis datang mendirikan kerajaan Pegatan di masa lalu.Suku-suku Maayan, Lawangan, Bukit, dan Ngaju dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan Jawa, dipersatukan oleh kerajaan yang beragama Buddha, Hindu dan terakhir Islam, dari kerajaan Banjar, sehingga menumbuhkan suku bangsa Banjar yang berbahasa Banjar. Kerajaan banjar pada abad ke-16 dan 17 sudah mengadakan hubungan dengan kesultanan Demak dan Mataram. Kerajaan inipun tidak luput incaran bangsa asing seperti Belanda dan Inggris yang silih berganti mendatangi pelabuhan Banjar.
Ketika terjadi perlawanan terhadap Belanda pada abad ke 29, tampil pemimpin-pemimpin seperti Sultan Hidayat dan Pangeran Antasari menghadapi Belanda.
Masyarakat adat Kalimantan Selatan terutama suku Banjar mengenal berbagai upacara adat yang berkenaan dengan kehidupan manusia. Sejak masih dalam kandungan hingga saat kematian. Misalnya adanya adat berpantang bagi wanita hamil, upacara Bapalas bidan, yakni ketika bayi yang dilahirkan berumur 40 hari dan sekaligus memberikan nama, upacara perkawianan terdiri dari beberapa tahap, sejaka Babasasuluh yaitu mencari data-data tentang calon istri, Badatang yakni melamar, Bantar Patalian yaitu acara penyerahan seperangkat barang atau mas kawin, Al-Qur’an dan puncak upacara adalah pengantin Batatai atau bersanding. Terakhir adalah upacara Pemakanan Pengantin yaitu kedua mempelai menjalani bulan madu, selama 7 hari 7 malam hanya makan dan minum di balik tabir tertutup.
Pada masyarakat Banjar berkembang seni sastra dan seni suara yang indah, yang semula dari pergaulan sehari-hari di anatara mereka saling sindir menyindir kadang-kadang dengan bahasa syair dan pantun-pantun dan ada kalanya bersifat humor di antara muda-mudinya. Sindir menyindir ini lama kelamaan berkembang menjadi seni sastra yang indah hingga kini misalnya pepatah-pepatah.
SENI TRADISIONAL
Kultur budaya yang berkembang di Banjarmasin sangat banyak
hubungannya dengan sungai, rawa dan danau, disamping pegunungan.
Tumbuhan dan binatang yang menghuni daerah ini sangat banyak
dimanfaatkan untuk memenuhi kehidupan mereka. Kebutuhan hidup mereka
yang mendiami wilayah ini dengan memanfaatkan alam lingkungan dengan
hasil benda-benda budaya yang disesuaikan. hampir segenap kehidupan
mereka serba relegius. Disamping itu, masyarakatnya juga agraris,
pedagang dengan dukungan teknologi yang sebagian besar masih
tradisional.
Ikatan kekerabatanmulai longgar dibanding dengan masa yang lalu,
orientasi kehidupan kekerabatan lebih mengarah kepada intelektual dan
keagamaan. Emosi keagamaan masih jelas nampak pada kehidupan seluruh
suku bangsa yang berada di Kalimantan Selatan.Urang Banjar mengembangkan sistem budaya, sistem sosial dan material budaya yang berkaitan dengan relegi, melalui berbagai proses adaptasi, akulturasi dan assimilasi. Sehingga nampak terjadinya pembauran dalam aspek-aspek budaya. Meskipun demikian pandangan atau pengaruh Islam lebih dominan dalam kehidupan budaya Banjar, hampir identik dengan Islam, terutama sekali dengan pandangan yang berkaitan dengan ke Tuhanan (Tauhid), meskipun dalam kehidupan sehari-hari masih ada unsur budaya asal, Hindu dan Budha.
Seni ukir dan arsitektur tradisional Banjar nampak sekali pembauran budaya, demikian pula alat rumah tangga, transport, Tari, Nyayian dsb.
Masyarakat Banjar telah mengenal berbagai jenis dan bentuk kesenian, baik Seni Klasik, Seni Rakyat, maupun Seni Religius Kesenian yang menjadi milik masyarakat Banjar seperti :
Teater Tradisi / Teater Rakyat
Antara lain Mamanda, Wayang Gung, Abdul Mulk Loba, Kuda Gepang, Cerita Damarwulan, Tantayungan, Wayang Kulit, Teater Tutur.
Seni Musik
Antara lain Kuriding, Karung-karung Panting, Kintunglit, Bumbung, Suling Bambu, Musik Tiup, Salung Ulin, Kateng Kupak.
Sinoman Hadrah dan Rudat
Sinoman Hadrah dan Rudat bersumber daripada budaya yang dibawa oleh pedagang dan penda’wah Islam dari Arab dan Parsi dan berkembang campur menjadi kebudayaan pada masyarakat pantai pesisir Kalimantan Selatan hingga Timur.
Puja dan puji untuk Tuhan serta Rasul Muhammad SAW mengisi syair dan pantun yang dilagukan bersahutan dalam qasidah yang merdu, dilindungi oleh payung (merupakan lambang keagungan dalam kehidupan tradisional di Indonesia) ubur-ubur, dalam gerakan yang dinamis.
Seni Tari
a. Tari Tradisi : Balian, Gantar, Bakanjar, Babangai
b. Tari Klasik : Baksa Kambang, Topeng, Radap Rahayu
c. Tari Rakyat : Japin Sisit, Tirik Lalan, Gambut, Kuda Gepang, Rudat dll
imagetarian surup dari Tanbu (MB)
Seni Sastra
Antara lain Kuriding, Karung-karung Panting, Kintunglit, Bumbung, Suling Bambu, Musik Tiup, Salung Ulin, Kateng Kupak.
a. Syair : Hikayat, Sejarah, Keagamaan
b. Pantun : Biasa, Kilat, Bakait
Seni Rupa
Antara lain Ornamen, Topeng dan Patung.
Keterampilan
Maayam dinding palupuh, maulah atap, wantilan, maulah gula habang, maulah dodol kandangan, maulah apam barabai, maulah sasapu ijuk, manggangan, maulah wadai, maulah urung katupat, maaym janur banjar, dll(sumb: situs her’s Site)
Suku Banjar mengembangkan seni dan budaya yang cukup lengkap, walaupun pengembangannya belum maksimal, meliputi berbagai bidang seni budaya.
‘Seni Tari’ Seni Tari suku Banjar terbagi menjadi dua, yaitu seni tari yang dikembangkan di lingkungan istana (kraton), dan seni tari yang dikembangkan oleh rakyat. Seni tari kraton ditandai dengan nama “Baksa” yang berasal dari bahasa Jawa (beksan) yang menandakan kehalusan gerak dalam tata tarinya. Tari-tari ini telah ada dari ratusan tahun yang lalu, semenjak zaman hindu, namun gerakan dan busananya telah disesuaikan dengan situasi dan kondisi dewasa ini. Contohnya, gerakan-gerakan tertentu yang dianggap tidak sesuai dengan adab islam mengalami sedikit perubahan. Seni tari daerah Banjar yang terkenal misalnya :
Tari Baksa Kembang, dalam penyambutan tamu agung.
Tari Baksa Panah
Tari Baksa Dadap
Tari Baksa Lilin
Tari Baksa Tameng
Tari Radap Rahayu, dalam upacara perkimpoian
Tari Kuda Kepang
Tari Japin/Jepen
Tari Tirik
Tari Gandut
Tarian Banjar lainnya
SASIRANGAN
Kain sasirangan adalah sejenis kain yang
diberi gambar dengan corak dan warna tertentu yang sudah dipolakan
secara tradisional menurut citarasa budaya yang khas etnis Banjar di
Kalsel.
Secara etimologis istilah Sasirangan bukanlah kata
benda sebagaimana yang dikesankan oleh pengertian di atas, tapi adalah
kata kerja. Sa artinya satu dan sirang artinya jelujur. Ini berarti
sasirangan artinya dibuat menjadi satu jelujur.
Kain sasirangan memang identik dengan kain yang diberi gambar dengan corak warna-warm berbentuk garis-garis jelujur yang memanjang dari bawah ke atas (vertikal). Sungguhpun demikian, istilah sasirangan sudah disepakati secara social budaya (arbitrer) kepada benda berbentuk kain (kata benda).
Pada mulanya kain sasirangan disebut kain langgundi, yakni kain tenun berwana kuning. Ketika Empu Jatmika berkuasa sebagai raja di Kerajaan Negara Dipa pada tahun 1355-1362. Kain langgundi merupakan kain yang digunakan secara luas sebagai bahan untuk membuat busana harian oleh segenap warga negara Kerajaan Negara Dipa.
Hikayat Banjar memaparkan secara tersirat bahwa di kawasan yang sekarang ini dikenal sebagai pusat kota Amuntai banyak berdiam para pengrajin kain langgundi. Keterampilan membuat kain langgundi ketika itu tidak hanya dikuasai oleh para wanita yang sudah tua saja, tetapi juga dikuasai oleh para wanita yang masih gadis belia. Paparan ini menyiratkan bahwa kain langgundi ketika itu memiliki pangsa pasar yang besar. Jika tidak, maka sudah barang tentu tidak bakal banyak warga negara Kerajaan Negara Dipa yang menekuninya sebagai pekerjaan utama.
Bukti bahwa di kota Amuntai ketika itu banyak berdiam para pembuat kain langgundi adalah paparan tentang keberhasilan Lambung Mangkurat memenuhi permintaan Putri Junjung Buih sebagai syarat kesediaannya untuk dijadikan raja putri di Kerajaan Negara Dipa.
Menurut Hikayat Banjar, Putri Junjung Buih ketika itu meminta Lambung Mangkurat membuatkan sebuah mahligai megah yang harus selesai dikerjakan dalam tempo satu hari oleh 40 orang tukang pria yang masih bujangan. Selain itu, Putri Junjung Buih juga meminta Lambung Mangkurat membuatkan sehelai kain langgundi yang selesai ditenun dan dihiasi dalam tempo satu hari oleh 40 orang wanita yang masih perawan.
Semua permintaan Putri Junjung Buih itu dapat clipenuhi dengan mudah oleh Lambung Mangkurat. Paparan ini menyiratkan bahwa di kota Amuntai ketika itu banyak berdiam para tukang pria yang masih bujang, dan para penenun wanita yang masih perawan. Jika tidak, maka sudah barang tentu Lambung Mangkurat tidak akan mampu memenuhi semua permintaan Putri Junjung Buih.
Pada hari yang telah disepakati, naiklah Putri Junjung Buih ke alam manusia meninggalkan tempat persemayamannya selama ini yang terletak di dasar Sungai Tabalong. Ketika itulah warga negara Kerajaan Negara Dipa melihat Putri Junjung Buih tampil dengan anggunnya. Pakaian kebesaran yang dikenakannya ketika itu tidak lain adalah kain langgundi warna kuning basil tenuman 40 orang penenun wanita yang masih perawan (Ras, 1968 : Baris 725-735, Hikajat Bandjar).
Kain sasirangan memang identik dengan kain yang diberi gambar dengan corak warna-warm berbentuk garis-garis jelujur yang memanjang dari bawah ke atas (vertikal). Sungguhpun demikian, istilah sasirangan sudah disepakati secara social budaya (arbitrer) kepada benda berbentuk kain (kata benda).
Pada mulanya kain sasirangan disebut kain langgundi, yakni kain tenun berwana kuning. Ketika Empu Jatmika berkuasa sebagai raja di Kerajaan Negara Dipa pada tahun 1355-1362. Kain langgundi merupakan kain yang digunakan secara luas sebagai bahan untuk membuat busana harian oleh segenap warga negara Kerajaan Negara Dipa.
Hikayat Banjar memaparkan secara tersirat bahwa di kawasan yang sekarang ini dikenal sebagai pusat kota Amuntai banyak berdiam para pengrajin kain langgundi. Keterampilan membuat kain langgundi ketika itu tidak hanya dikuasai oleh para wanita yang sudah tua saja, tetapi juga dikuasai oleh para wanita yang masih gadis belia. Paparan ini menyiratkan bahwa kain langgundi ketika itu memiliki pangsa pasar yang besar. Jika tidak, maka sudah barang tentu tidak bakal banyak warga negara Kerajaan Negara Dipa yang menekuninya sebagai pekerjaan utama.
Bukti bahwa di kota Amuntai ketika itu banyak berdiam para pembuat kain langgundi adalah paparan tentang keberhasilan Lambung Mangkurat memenuhi permintaan Putri Junjung Buih sebagai syarat kesediaannya untuk dijadikan raja putri di Kerajaan Negara Dipa.
Menurut Hikayat Banjar, Putri Junjung Buih ketika itu meminta Lambung Mangkurat membuatkan sebuah mahligai megah yang harus selesai dikerjakan dalam tempo satu hari oleh 40 orang tukang pria yang masih bujangan. Selain itu, Putri Junjung Buih juga meminta Lambung Mangkurat membuatkan sehelai kain langgundi yang selesai ditenun dan dihiasi dalam tempo satu hari oleh 40 orang wanita yang masih perawan.
Semua permintaan Putri Junjung Buih itu dapat clipenuhi dengan mudah oleh Lambung Mangkurat. Paparan ini menyiratkan bahwa di kota Amuntai ketika itu banyak berdiam para tukang pria yang masih bujang, dan para penenun wanita yang masih perawan. Jika tidak, maka sudah barang tentu Lambung Mangkurat tidak akan mampu memenuhi semua permintaan Putri Junjung Buih.
Pada hari yang telah disepakati, naiklah Putri Junjung Buih ke alam manusia meninggalkan tempat persemayamannya selama ini yang terletak di dasar Sungai Tabalong. Ketika itulah warga negara Kerajaan Negara Dipa melihat Putri Junjung Buih tampil dengan anggunnya. Pakaian kebesaran yang dikenakannya ketika itu tidak lain adalah kain langgundi warna kuning basil tenuman 40 orang penenun wanita yang masih perawan (Ras, 1968 : Baris 725-735, Hikajat Bandjar).
BUSANA ADAT PENGANTIN BANJAR
Perkimpoian adat Banjar
dipengaruhi oleh unsur dalam agama Islam, dalam perkimpoian Banjar
nampak jelas begitu besar penghormatan terhadap posisi wanita. Hal itu
merupakan penerapan dari ajaran Islam yang mengemukakan ungkapan “surga
itu dibawah telapak kaki ibu” dan kalimat “wanita itu adalah tiang
negara”. Acara demi acara yang dilaksanakan semuanya berpusat di tempat
atau di rumah pihak calon mempelai wanita, pihak dari keluarga laki-laki
yang datang menghormati kepada keluarga mempelai wanita.Urutan proses
yang umum terjadi di kalangan keluarga calon pengantin adalah: 1.
Basusuluh (mencari informasi secara diam-diam mengenai riwayat keluarga
calon mempelai. Mencari informasi ini bisa melalui berbagai macam cara
dan dilakukan secara cerdik)
2. Batatakun (mencari informasi definitif, pencarian ini lebih terbuka melalui kedua pihak keluarga)
3. Badatang (meminang)
4. Maatar Patalian ( memberikan barang-barang antaran kepada pihak mempelai wanita, berupa barang kebutuhan sehari-hari dan perlengkapan kamar tidur)
5. Nikah (ikatan resmi menurut agama)
6. Batatai (proses akhir dari perkimpoian Banjar, upacara bersanding/pesta perkimpoian)
Ditambah berbagai proses lainnya yang semuanya dilakukan di kediaman mempelai wanita. Karena perkimpoian merupakan salah satu hal terpenting dalam hidup, maka keluarga kedua mempelai berupaya semaksimal mungkin untuk memberikan kesan dan keistimewaan serta fasilitas kepada kedua mempelai, mereka dilayani bagai seorang raja dan ratu sehingga sering diberi julukan Raja Sahari (raja satu hari)
2. Batatakun (mencari informasi definitif, pencarian ini lebih terbuka melalui kedua pihak keluarga)
3. Badatang (meminang)
4. Maatar Patalian ( memberikan barang-barang antaran kepada pihak mempelai wanita, berupa barang kebutuhan sehari-hari dan perlengkapan kamar tidur)
5. Nikah (ikatan resmi menurut agama)
6. Batatai (proses akhir dari perkimpoian Banjar, upacara bersanding/pesta perkimpoian)
Ditambah berbagai proses lainnya yang semuanya dilakukan di kediaman mempelai wanita. Karena perkimpoian merupakan salah satu hal terpenting dalam hidup, maka keluarga kedua mempelai berupaya semaksimal mungkin untuk memberikan kesan dan keistimewaan serta fasilitas kepada kedua mempelai, mereka dilayani bagai seorang raja dan ratu sehingga sering diberi julukan Raja Sahari (raja satu hari)
RUMAH ADAT BANJAR
Jenis-jenis Rumah Adat Banjar:
1. Rumah Bubungan Tinggi
2. Rumah Gajah Baliku
3. Rumah Gajah Manyusu
4. Rumah Balai Laki
5. Rumah Balai Bini
6. Rumah Palimbangan
7. Rumah Palimasan (Rumah Gajah
8. Rumah Anjung Surung (Rumah Cacak Burung)
9. Rumah Tadah Alas
10. Rumah Lanting
11. Rumah Joglo GudangSejarah dan Perkembangan Rumah Adat Banjar
Rumah adat Banjar, biasa disebut juga dengan Rumah Bubungan Tinggi karena bentuk pada bagian atapnya yang begitu lancip dengan sudut 45ยบ. Bangunan Rumah Adat Banjar diperkirakan telah ada sejak abad ke-16, yaitu ketika daerah Banjar di bawah kekuasaan Pangeran Samudera yang kemudian memeluk agama Islam, dan mengubah namanya menjadi Sultan Suriansyah dengan gelar Panembahan Batu Habang.
Sebelum memeluk agama Islam Sultan Suriansyah tersebut menganut agama Hindu. Ia memimpin Kerajaan Banjar pada tahun 1596–1620.
Pemisahan jenis dan bentuk rumah Banjar sesuai dengan filsafat dan religi yang bersumber pada kepercayaan Kaharingan pada suku Dayak bahwa alam semesta yang terbagi menjadi 2 bagian, yaitu alam atas dan alam bawah.Rumah Bubungan Tinggi merupakan lambang mikrokosmos dalam makrokosmos yang besar.Penghuni seakan-akan tinggal di bagian dunia tengah yang diapit oleh dunia atas dan dunia bawah. Di rumah mereka hidup dalam keluarga besar, sedang kesatuan dari dunia atas dan dunia bawah melambangkan Mahatala dan Jata (suami dan isteri).
rumah Bubungan Tinggi melambangkan berpadunya Dunia Atas dan Dunia Bawah
Dwitunggal Semesta
Pada peradaban agraris, rumah dianggap keramat karena dianggap sebagai tempat bersemayam secara ghaib oleh para dewata seperti pada rumah Balai suku Dayak Bukit yang berfungsi sebagai rumah ritual. Pada masa Kerajaan Negara Dipa sosok nenek moyang diwujudkan dalam bentuk patung pria dan wanita yang disembah dan ditempatkan dalam istana. Pemujaan arwah nenek moyang yang berwujud pemujaan Maharaja Suryanata dan Puteri Junjung Buih merupakan simbol perkimpoian (persatuan) alam atas dan alam bawah Kosmogoni Kaharingan-Hindu. Suryanata sebagai manifestasi dewa Matahari (Surya) dari unsur kepercayaan Kaharingan-Hindu, matahari yang menjadi orientasi karena terbit dari ufuk timur (orient) selalu dinantikan kehadirannya sebagai sumber kehidupan, sedangkan Puteri Junjung Buih berupa lambang air, sekaligus lambang kesuburan tanah berfungsi sebagai Dewi Sri di Jawa. Pada masa tumbuhnya kerajaan Hindu, istana raja merupakan citra kekuasaan bahkan dianggap ungkapan berkat dewata sebagai pengejawantahan lambang Kosmos Makro ke dalam Kosmos Mikro. Puteri Junjung Buih sebagai perlambang “dunia Bawah” sedangkan Pangeran Suryanata perlambang “dunia atas”. Pada arsitektur Rumah Bubungan Tinggi pengaruh unsur-unsur tersebut masih dapat ditemukan. Bentuk ukiran naga yang tersamar/didestilir (bananagaan) melambangkan “alam bawah” sedangkan ukiran burung enggang melambangkan “alam atas”.
Pohon Hayat
Wujud bentuk rumah Banjar Bubungan Tinggi dengan atapnya yang menjulang ke atas merupakan citra dasar dari sebuah “pohon hayat” yang merupakan lambang kosmis. Pohon Hayat merupakan pencerminan dimensi-dimensi dari satu kesatuan semesta. Ukiran tumbuh-tumbuhan yang subur pada Tawing Halat (Seketeng) merupakan perwujudan filosofi “pohon kehidupan” yang oleh orang Dayak disebut Batang Garing dalam kepercayaan Kaharingan yang pernah dahulu berkembang dalam kehidupan masyarakat Kalimantan Selatan pada periode sebelumnya.
Payung
Wujud bentuk rumah Banjar Bubungan Tinggi dengan atapnya yang menjulang ke atas merupakan sebuah citra dasar sebuah payung yang menunjukkan suatu orientasi kekuasaan ke atas. Payung juga menjadi perlambang kebangsawanan yang biasa menggunakan “payung kuning” sebagai perangkat kerajaan. Payung kuning sebagai tanda-tanda kemartabatan kerajaan Banjar diberikan kepada para pejabat kerajaan di suatu daerah.
Simetris
Wujud bentuk rumah Banjar Bubungan Tinggi yang simetris, terlihat pada bentuk sayap bangunan atau anjung yang terdiri atas Anjung Kanan dan Anjung Kiwa. Hal ini berkaitan dengan filosofi simetris (seimbang) dalam pemerintahan Kerajaan Banjar, yang membagi kementerian, menjadi Mantri Panganan (Kelompok Menteri Kanan) dan Mantri Pangiwa (Kelompok Menteri Kiri), masing-masing terdiri atas 4 menteri, Mantri Panganan bergelar ‘Patih’ dan Mantri Pangiwa bergelar ‘Sang’, tiap-tiang menteri memiliki pasukan masing-masing. Konsep simetris ini tercermin pada rumah bubungan tinggi.
1. Rumah Bubungan Tinggi
2. Rumah Gajah Baliku
3. Rumah Gajah Manyusu
4. Rumah Balai Laki
5. Rumah Balai Bini
6. Rumah Palimbangan
7. Rumah Palimasan (Rumah Gajah
8. Rumah Anjung Surung (Rumah Cacak Burung)
9. Rumah Tadah Alas
10. Rumah Lanting
11. Rumah Joglo GudangSejarah dan Perkembangan Rumah Adat Banjar
Rumah adat Banjar, biasa disebut juga dengan Rumah Bubungan Tinggi karena bentuk pada bagian atapnya yang begitu lancip dengan sudut 45ยบ. Bangunan Rumah Adat Banjar diperkirakan telah ada sejak abad ke-16, yaitu ketika daerah Banjar di bawah kekuasaan Pangeran Samudera yang kemudian memeluk agama Islam, dan mengubah namanya menjadi Sultan Suriansyah dengan gelar Panembahan Batu Habang.
Sebelum memeluk agama Islam Sultan Suriansyah tersebut menganut agama Hindu. Ia memimpin Kerajaan Banjar pada tahun 1596–1620.
Pemisahan jenis dan bentuk rumah Banjar sesuai dengan filsafat dan religi yang bersumber pada kepercayaan Kaharingan pada suku Dayak bahwa alam semesta yang terbagi menjadi 2 bagian, yaitu alam atas dan alam bawah.Rumah Bubungan Tinggi merupakan lambang mikrokosmos dalam makrokosmos yang besar.Penghuni seakan-akan tinggal di bagian dunia tengah yang diapit oleh dunia atas dan dunia bawah. Di rumah mereka hidup dalam keluarga besar, sedang kesatuan dari dunia atas dan dunia bawah melambangkan Mahatala dan Jata (suami dan isteri).
rumah Bubungan Tinggi melambangkan berpadunya Dunia Atas dan Dunia Bawah
Dwitunggal Semesta
Pada peradaban agraris, rumah dianggap keramat karena dianggap sebagai tempat bersemayam secara ghaib oleh para dewata seperti pada rumah Balai suku Dayak Bukit yang berfungsi sebagai rumah ritual. Pada masa Kerajaan Negara Dipa sosok nenek moyang diwujudkan dalam bentuk patung pria dan wanita yang disembah dan ditempatkan dalam istana. Pemujaan arwah nenek moyang yang berwujud pemujaan Maharaja Suryanata dan Puteri Junjung Buih merupakan simbol perkimpoian (persatuan) alam atas dan alam bawah Kosmogoni Kaharingan-Hindu. Suryanata sebagai manifestasi dewa Matahari (Surya) dari unsur kepercayaan Kaharingan-Hindu, matahari yang menjadi orientasi karena terbit dari ufuk timur (orient) selalu dinantikan kehadirannya sebagai sumber kehidupan, sedangkan Puteri Junjung Buih berupa lambang air, sekaligus lambang kesuburan tanah berfungsi sebagai Dewi Sri di Jawa. Pada masa tumbuhnya kerajaan Hindu, istana raja merupakan citra kekuasaan bahkan dianggap ungkapan berkat dewata sebagai pengejawantahan lambang Kosmos Makro ke dalam Kosmos Mikro. Puteri Junjung Buih sebagai perlambang “dunia Bawah” sedangkan Pangeran Suryanata perlambang “dunia atas”. Pada arsitektur Rumah Bubungan Tinggi pengaruh unsur-unsur tersebut masih dapat ditemukan. Bentuk ukiran naga yang tersamar/didestilir (bananagaan) melambangkan “alam bawah” sedangkan ukiran burung enggang melambangkan “alam atas”.
Pohon Hayat
Wujud bentuk rumah Banjar Bubungan Tinggi dengan atapnya yang menjulang ke atas merupakan citra dasar dari sebuah “pohon hayat” yang merupakan lambang kosmis. Pohon Hayat merupakan pencerminan dimensi-dimensi dari satu kesatuan semesta. Ukiran tumbuh-tumbuhan yang subur pada Tawing Halat (Seketeng) merupakan perwujudan filosofi “pohon kehidupan” yang oleh orang Dayak disebut Batang Garing dalam kepercayaan Kaharingan yang pernah dahulu berkembang dalam kehidupan masyarakat Kalimantan Selatan pada periode sebelumnya.
Payung
Wujud bentuk rumah Banjar Bubungan Tinggi dengan atapnya yang menjulang ke atas merupakan sebuah citra dasar sebuah payung yang menunjukkan suatu orientasi kekuasaan ke atas. Payung juga menjadi perlambang kebangsawanan yang biasa menggunakan “payung kuning” sebagai perangkat kerajaan. Payung kuning sebagai tanda-tanda kemartabatan kerajaan Banjar diberikan kepada para pejabat kerajaan di suatu daerah.
Simetris
Wujud bentuk rumah Banjar Bubungan Tinggi yang simetris, terlihat pada bentuk sayap bangunan atau anjung yang terdiri atas Anjung Kanan dan Anjung Kiwa. Hal ini berkaitan dengan filosofi simetris (seimbang) dalam pemerintahan Kerajaan Banjar, yang membagi kementerian, menjadi Mantri Panganan (Kelompok Menteri Kanan) dan Mantri Pangiwa (Kelompok Menteri Kiri), masing-masing terdiri atas 4 menteri, Mantri Panganan bergelar ‘Patih’ dan Mantri Pangiwa bergelar ‘Sang’, tiap-tiang menteri memiliki pasukan masing-masing. Konsep simetris ini tercermin pada rumah bubungan tinggi.
Kuliner adalah hasil olahan yang berupa masakan. Masakan tersebut
berupa lauk pauk, makanan (penganan), dan minuman. Karena setiap daerah
memiliki cita rasa tersendiri, maka tak heran jika setiap daerah
memiliki tradisi kuliner yang berbeda – beda.
Kuliner merupakan sebuah gaya hidup yang tidak dapat dipisahkan.
Karena setiap orang memerlukan makanan yang sangat dibutuhkan
sehari-hari. Mulai dari makanan yang sederhana hingga makanan yang
berkelas tinggi dan mewah. Semua itu, membutuhkan pengolahan yang serba
enak.
MAKANAN KHAS BANJAR
1). Soto Banjarmasin
Soto, bagaimanapun juga adalah menu yang paling umum ditemukan di
seantero Indonesia Raya, termasuk di Kalimantan Selatan. Soto Banjar namanya.Namun,
berbeda dengan beberapa daerah di Indonesia, Soto Banjar tidak
menggunakan nasi, melainkan menggunakan ketupat. Salah Satu Keunikan
Kuliner satu Ini adalah, kebiasaan menikmati Soto Banjar sembari
diiringi dengan sate.
Secara umum, Soto Banjar ini ada dua macam, yang sederhananya bisa dibedakan dari tampilan kuahnya. Yakni Soto Banjar yang kuahnya “agak keruh” dan Soto Banjar yang nampak bening ning. Kalau yang keruh itu pakai tambahan susu atau creamer.
2). Gangan Asam
Sayur berkuah asam alias gangan asam menjadi menu khas dalam khazanah kuliner urang Banjar. Gangan ini biasanya disertai lauk berupa haruan (gabus) atau patin. Di banua kita, sayur asam ini dikenal dengan sebutan gangan asam.Kuah bersayur dengan warna kuning dan rasa agak asam, sesuai namanya ini, banyak disukai masyarakat Banjar dan warga pendatang. Paduan antara gurih, asam dan segar sangat menggugah selera. Apalagi jika bersantap siang hari, sepiring nasi diguyur dengan gangan asam, begitu sedap rasanya. Biasanya pula gangan asam dicampur dengan sayur dan lauk berupa ikan haruan atau patin.
3). Manday
Secara umum, Soto Banjar ini ada dua macam, yang sederhananya bisa dibedakan dari tampilan kuahnya. Yakni Soto Banjar yang kuahnya “agak keruh” dan Soto Banjar yang nampak bening ning. Kalau yang keruh itu pakai tambahan susu atau creamer.
2). Gangan Asam
Sayur berkuah asam alias gangan asam menjadi menu khas dalam khazanah kuliner urang Banjar. Gangan ini biasanya disertai lauk berupa haruan (gabus) atau patin. Di banua kita, sayur asam ini dikenal dengan sebutan gangan asam.Kuah bersayur dengan warna kuning dan rasa agak asam, sesuai namanya ini, banyak disukai masyarakat Banjar dan warga pendatang. Paduan antara gurih, asam dan segar sangat menggugah selera. Apalagi jika bersantap siang hari, sepiring nasi diguyur dengan gangan asam, begitu sedap rasanya. Biasanya pula gangan asam dicampur dengan sayur dan lauk berupa ikan haruan atau patin.
3). Manday
Sebagiannya menyebutnya dengan nama jaruk mandai. Mandai berasal
dari kulit nangka, kulit Tiwadak (cempedak), kulit Tarap, ketiga buah
ini membunyai bentuk buah kulit yang sama. Nangka dan tiwadak yang
kulitnya biasanya hanya dibuang percuma setelah diambil bijinya untuk
dimakan namun bagi urang Banjar kulit-kulit ini diolah kembali dan
dijadikan kuliner yang menggiurkan.Kulit
dari buah yang sudah matang dibersihkan kulit dari luarnya, daging
kulit berserta daging yang menjuntai pengikat buah diambil, kemudian di
taburi dengan garam dan didiamkan beberapa hari sampai garam itu
meresap, setelah itu sudah siap untuk di buat bahan masakan. Biasanya
kulit ini dapat tetap disimpan selama beberapa bulan dalam cairan garam.
Namun khusus kulit cempedak yang hanya dapat di dapatkan pada
musim-musim tertentu bisa disimpan sampai satu tahun lebih didalam botol
cairan garam, karena semakin lama disimpan akan semakin terasa enak
ketika dibuat masakah. Selanjutnya adalah buah tarap yang hanya bisa
didapatkan pada musimnya saja, buah tarap mentah harus direbus dulu,
baru kemudian dibersihkan, sesudah itu baru digarami seperti juga buah
nangka dan cempedak.
Mandai biasanya tidak dijual dipasaran, karena bisa dibuat sendiri
dirumah, tapi khusus untuk mandai dari kulit nangka muda ada pembuatan
khusus dengan cuka yang hanya bisa ditemukan di pasar-pasar traditional
barabai, sayangnya mandai dari kulit nangka muda ini hanya dapat
bertahan satu minggu.
4). Ketupat Kandangan
Kuliner satu ini agak unik gan karena bukan asli
banjarmasin,kuliner ini berasal dari kota Kandangan Kalimantan
Selatan,tapi di Banjarmasin sendiri terkenal sebagai makanan khas
Ketupat kandangan terbuat dari Beras yang dijadiin ketupat dengan cara
dimasukkin kedalam anyaman daun kelapa terus dikukus.Lauknya sendiri
biasanya pake ikan gabus yang dibakar atau telur rebus..Kuahnya pake
kuah santan ,pake telor asin.
5). Kelelepon Martapura
Terkenal dengan semboyan Pacah di ilat yang artinya pecah di lidah
tanpa perlu digigit Kelelepon adalah salah satu makanan khas Banjar,
khususnya di Kota Martapura Kab. Banjar kelelepon sudah menjadi ikon
kota berjuluk serambi mekah ini. Ada suatu tempat dimana kita dapat
dengan mudah mendapatkan kelelepon, sebut saja “Lampu merah Sekumpul” di
sana akan ditemui.
6). Bingka Barandam
Secara Harfiah arti dari BINGKA BARANDAM adalah Bingka yang
direndam.. Karena penyajiannya direndam dalam air gula, Bingka Barandam
adalah salah satu jenis Kuliner Kalimantan Selatan, terbuat dari bahan
utama tepung & telur serta dinikmati dengan menggunakan air gula.
Maka tentu saja akan terasa manis. Biasanya banyak dijumpai di bulan
puasa, Ini adalah jenis makanan penutup/dessert.
7). Apam Barabai
Apam barabai adalah kue basah yang dibuat dari tepung beras,
santan, gula merah/putih, dan tape singkong. Makanan ini bentuknya bulat
dan tipis, berwarna merah kecoklatan atau putih. Teksturnya sangat
lembut, sehingga enak dilidah.Yang
berwarna merah kecoklatan, gula yang digunakan adalah gula merah,
sehingga rasanya sangat khas, gurih dan manis, aromanya pun memiliki
aroma yang kuat dari gula aren. Yang warna putih pun tak kalah enak,
rasanya juga manis, orang yang kurang suka aroma dan rasa gula merah
bisa memilih apam yang putih ini.
8). Nasi Itik Gambut
Nasi itik gambut dinamakan sesuai salah satu daerah di
Banjarmasin,Kuliner ini memakai lauk itik/bebek,Biasanya pake masak
habang/bumbu bali yang warnanya merah,Rasanya gurih apalagi rasa khas
dari daging itik itu sendiri ditambahkan nasi yang hangat.
9). Iwak Karing Telang Masak Asam
Telang, adalah nama ikan asin yang populer di Kalimantan Selatan.
Pengolahan yang paling sederhana adalah dengan cara di goreng. Paling
pas (bagi admin pribadi) adalah dicampur dengan sayur bening waktu
makannya, siang hari pula.Selain itu, yang juga nikmatnya bukan buatan
adalah Masak Asam Telang. Sebagaimana gambar di atas. Cuma yang harus
diperhatikan adalah tingkat keasinannya supaya pas. Beberapa orang
memiliki teknik berbeda dalam mengolah Masak Asam Telang ini, tapi tetap
saja, nikmat rasanya.
PANTING
Mengenai kapan lahirnya musik “Panting”, sampai sekarang belum
didapatkan data tertulis. Tapi, menurut tuturan lisan yang berkembang di
pedesaan dan kampung-kampung di Kalimantan Selatan, musik “Panting”
sudah ada sebelum zaman penjajahan. Atau lebih kurang pada abad ke-18.
Pada masa itu, musik “Panting” digunakan untuk mengiringi tarian Japen
dan Gandut.
Dalam periode tersebut, musik “Panting” diiringi dengan istrumen lain seperti babun, gong, suling, dan rebab. Tapi setelah biola masuk ke Kerajaan Banjar, maka kedudukan rebab digantikan oleh biola.
Di masa awal dan tahap perkembangannya, “Panting” hanya memiliki tiga buah tali.atau senar. Dimana masing-masing senar punya fungsi tersendiri. Tali pertama disebut pangalik. Yaitu tali yang dibunyikan untuk penyisip nyanyian atau melodi.
Tali kedua, disebut panggundah atau pangguda yang digunakan sebagai penyusun lagu atau paningkah. Sedang tali ketiga disebut agur yang berfungsi sebagai bass.
Tali “Panting” pada masa lalu dibuat dari haduk hanau (ijuk), serat nenas, serat kulit kayu bikat, benang mesin, atau benang sinali.
Tapi sekarang, karena lebih mudah didapatkan, ditambah lagi dengan bunyinya yang jauh lebih merdu, benang nilon tampak lebih banyak digunakan. Atau, ada pula yang menggunakan tali kawat dengan empat bentangan pada badan “Panting”.
SEJARAH SINGKAT KESENIAN MUSIK PANTING MENURUT AW. SYARBAINI DI DESA BARIKIN KEC. HARUYAN KAB. HST
1. A.W. Syarbaini pada tahun 1969 mengenal dan mempelajari kesenian Musik Tradisional Bajapin
2. Pada tahun 1973 membentuk kasenian tradisional bajapin tersebut dengan alat yang sangat sederhana yang terdiri :
a. Panting
b. Babun
c. Gong
3. Setelah itu pada tahun 1976 musik bajapin ditampilkan dalam bentuk sajian musik, yakni musiknya saja tanpa mengiringi tarian japin dengan membawakan lagu-lagu melayu banjar pahuluan.
4. Pada tanggal 15 November 1977 khususnya di desa Barikin musik bajapin tersebut kembali ditampilkan dalam bentuk acara resipsi perkimpoian dan pada waktu itulah diberi nama Musik Panting, dalam acara tersebut telah hadir beberapa orang tokoh seniman Kalimantan Selatan yang ikut menyaksikan pagelaran musik panting tersebut, antara lain :
a.Yustan Azidin
b. Marsudi, BA
c. H. Anang Ardiansyah
d. Drs. H. Bahtiar Sanderta
Menurut Yustan Azidin karena kesenian ini alat utamanya adalah panting maka dari itulah musik tersebut alangkah baiknya diberi nama ” Musik Panting ”
Bentuk Panting dan Ukiran :
~*~ Ukiran kepala :
– Karuang Bulik
– Simbangan Laut
– Naga Salimburan
– Putri Bungsu
– Putri Kurung
– dll.
~*~ Bentuk Badan
– Mayang Bungkus
– Mayang Bunting
– Mayang Maurai
Karuang Bulik, Simbangan Laut dan Naga Salimburan yang terukir di ujung atau kepala Panting itu dibelainya. Perlahan. Itu dilakukannya sebelum mengangkat dan meletakkan alat musik tradional sebentuk gitar itu kepangkuannya. Sebelum dawai dipetik, tangan kanannya terlebih dahulu mengusap badan Panting yang berukirkan Mayang Bungkus, Mayang Bunting dan Mayang Maurai.
Dan, melantunlah dentingan irama Panting. Syahdu dan merdu. Terkadang lembut, terkadang rancak. Mempesona ditelinga hingga tak terasa kepala mengangguk dan badan ikut bergoyang mengikuti irama.
Sarbai atau Syarbaini, panggilan Abdul Wahab Syarbaini, dikenal sebagai seniman tradisional Banjar yang serba bisa. Uniknya, dengan kepandaian itu, ia memilih menghidupkan Desa Barikin, Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Tanah kelahirannya itu dijadikan kampung budaya Banjar.
Desa Barikin terletak sekitar 135 kilometer utara Kota Banjarmasin, ibu kota Kalimantan Selatan. Kampung itu sebelumnya dikenal sebagai tempat persinggahan para bangsawan Kerajaan Dipa pada abad ke-14. Kini Barikin menjadi kampung seniman tradisional Banjar.
Aspek budaya terasa kental di kampung Barikin lewat keberadaan sanggar seni tradisional Ading Bestari, yang dipimpin Sarbai. Di sini kesenian tradisional Banjar yang semakin jarang dimainkan dan hampir punah, seperti wayang kulit Banjar, wayang gung (gong) atau wayang orang, tari topeng, kuda gepang, seni tari dan musik bajapin, dan musik panting, dipertunjukkan.
Upaya pelestarian seni tradisional Banjar itu melibatkan nyaris semua warga kampung. ”Saya memegang pesan leluhur agar melestarikan kesenian yang hidup di kampung ini. Sebab, dengan kesenian itu, hubungan keluarga semakin erat,” katanya.
Ading Bastari membawahi beberapa grup kesenian. Untuk warga yang menyukai wayang kulit, misalnya, tergabung dalam Panji Sukma. Mereka yang suka tari topeng di grup Panji Sumirang, anggota wayang gung di Antaboga, dan R Brantasena untuk pemain kuda gepang. Tiap grup beranggota 14-35 orang.
Syarbaini tak hanya memimpin sanggar, ia juga bermain dalam hampir semua grup tersebut. Pada wayang kulit, ia sebagai dalang, dan di wayang gung dia menjadi Hanoman.
”Saya belajar semua seni itu sejak kelas empat SD, tahun 1967. Saya belajar dari para seniman di sini, termasuk Saya, orangtua saya, yang mahir memainkan gamelan banjar,” katanya.
Kondisi kampung yang sarat kegiatan kesenian sejak lama itu membuat Desa Barikin menjadi salah satu rujukan bagi mereka yang ingin belajar kesenian tradisional. Orang pun bisa belajar dari satu jenis seni ke berbagai jenis seni lainnya.
Dalam periode tersebut, musik “Panting” diiringi dengan istrumen lain seperti babun, gong, suling, dan rebab. Tapi setelah biola masuk ke Kerajaan Banjar, maka kedudukan rebab digantikan oleh biola.
Di masa awal dan tahap perkembangannya, “Panting” hanya memiliki tiga buah tali.atau senar. Dimana masing-masing senar punya fungsi tersendiri. Tali pertama disebut pangalik. Yaitu tali yang dibunyikan untuk penyisip nyanyian atau melodi.
Tali kedua, disebut panggundah atau pangguda yang digunakan sebagai penyusun lagu atau paningkah. Sedang tali ketiga disebut agur yang berfungsi sebagai bass.
Tali “Panting” pada masa lalu dibuat dari haduk hanau (ijuk), serat nenas, serat kulit kayu bikat, benang mesin, atau benang sinali.
Tapi sekarang, karena lebih mudah didapatkan, ditambah lagi dengan bunyinya yang jauh lebih merdu, benang nilon tampak lebih banyak digunakan. Atau, ada pula yang menggunakan tali kawat dengan empat bentangan pada badan “Panting”.
SEJARAH SINGKAT KESENIAN MUSIK PANTING MENURUT AW. SYARBAINI DI DESA BARIKIN KEC. HARUYAN KAB. HST
1. A.W. Syarbaini pada tahun 1969 mengenal dan mempelajari kesenian Musik Tradisional Bajapin
2. Pada tahun 1973 membentuk kasenian tradisional bajapin tersebut dengan alat yang sangat sederhana yang terdiri :
a. Panting
b. Babun
c. Gong
3. Setelah itu pada tahun 1976 musik bajapin ditampilkan dalam bentuk sajian musik, yakni musiknya saja tanpa mengiringi tarian japin dengan membawakan lagu-lagu melayu banjar pahuluan.
4. Pada tanggal 15 November 1977 khususnya di desa Barikin musik bajapin tersebut kembali ditampilkan dalam bentuk acara resipsi perkimpoian dan pada waktu itulah diberi nama Musik Panting, dalam acara tersebut telah hadir beberapa orang tokoh seniman Kalimantan Selatan yang ikut menyaksikan pagelaran musik panting tersebut, antara lain :
a.Yustan Azidin
b. Marsudi, BA
c. H. Anang Ardiansyah
d. Drs. H. Bahtiar Sanderta
Menurut Yustan Azidin karena kesenian ini alat utamanya adalah panting maka dari itulah musik tersebut alangkah baiknya diberi nama ” Musik Panting ”
Bentuk Panting dan Ukiran :
~*~ Ukiran kepala :
– Karuang Bulik
– Simbangan Laut
– Naga Salimburan
– Putri Bungsu
– Putri Kurung
– dll.
~*~ Bentuk Badan
– Mayang Bungkus
– Mayang Bunting
– Mayang Maurai
Karuang Bulik, Simbangan Laut dan Naga Salimburan yang terukir di ujung atau kepala Panting itu dibelainya. Perlahan. Itu dilakukannya sebelum mengangkat dan meletakkan alat musik tradional sebentuk gitar itu kepangkuannya. Sebelum dawai dipetik, tangan kanannya terlebih dahulu mengusap badan Panting yang berukirkan Mayang Bungkus, Mayang Bunting dan Mayang Maurai.
Dan, melantunlah dentingan irama Panting. Syahdu dan merdu. Terkadang lembut, terkadang rancak. Mempesona ditelinga hingga tak terasa kepala mengangguk dan badan ikut bergoyang mengikuti irama.
Sarbai atau Syarbaini, panggilan Abdul Wahab Syarbaini, dikenal sebagai seniman tradisional Banjar yang serba bisa. Uniknya, dengan kepandaian itu, ia memilih menghidupkan Desa Barikin, Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Tanah kelahirannya itu dijadikan kampung budaya Banjar.
Desa Barikin terletak sekitar 135 kilometer utara Kota Banjarmasin, ibu kota Kalimantan Selatan. Kampung itu sebelumnya dikenal sebagai tempat persinggahan para bangsawan Kerajaan Dipa pada abad ke-14. Kini Barikin menjadi kampung seniman tradisional Banjar.
Aspek budaya terasa kental di kampung Barikin lewat keberadaan sanggar seni tradisional Ading Bestari, yang dipimpin Sarbai. Di sini kesenian tradisional Banjar yang semakin jarang dimainkan dan hampir punah, seperti wayang kulit Banjar, wayang gung (gong) atau wayang orang, tari topeng, kuda gepang, seni tari dan musik bajapin, dan musik panting, dipertunjukkan.
Upaya pelestarian seni tradisional Banjar itu melibatkan nyaris semua warga kampung. ”Saya memegang pesan leluhur agar melestarikan kesenian yang hidup di kampung ini. Sebab, dengan kesenian itu, hubungan keluarga semakin erat,” katanya.
Ading Bastari membawahi beberapa grup kesenian. Untuk warga yang menyukai wayang kulit, misalnya, tergabung dalam Panji Sukma. Mereka yang suka tari topeng di grup Panji Sumirang, anggota wayang gung di Antaboga, dan R Brantasena untuk pemain kuda gepang. Tiap grup beranggota 14-35 orang.
Syarbaini tak hanya memimpin sanggar, ia juga bermain dalam hampir semua grup tersebut. Pada wayang kulit, ia sebagai dalang, dan di wayang gung dia menjadi Hanoman.
”Saya belajar semua seni itu sejak kelas empat SD, tahun 1967. Saya belajar dari para seniman di sini, termasuk Saya, orangtua saya, yang mahir memainkan gamelan banjar,” katanya.
Kondisi kampung yang sarat kegiatan kesenian sejak lama itu membuat Desa Barikin menjadi salah satu rujukan bagi mereka yang ingin belajar kesenian tradisional. Orang pun bisa belajar dari satu jenis seni ke berbagai jenis seni lainnya.
LAGU BANJAR
Lagu Banjar adalah lagu-lagu berbahasa Banjar. Menurut seniman/
pencipta lagu-lagu Banjar yaitu H. Anang Ardiansyah (67 tahun) dilihat
daerah perkembangannya lagu-lagu (pantun) berirama khas Banjar di
Kalimantan Selatan terbagi menjadi 3 yaitu pantun yang berkembang di
tepian sungai, pantun yang berkembang di daratan dan pantun yang
berkembang di pesisir pantai.
Jenis-jenis pantun (lagu) tersebut antara lain :
* Lagu (Pantun) Rantauan yaitu lagu-lagu yang berkembang di sepanjang tepian sungai khususnya di daerah Banjar Kuala. Ciri-ciri lagu ini beralun-alun dan bergelombang-gelombang seperti gelombang sungai dan seperti orang yang meratapi nasib. Perbedaan lagu Rantauan dengan lagu Pasisiran, misalnya pada lagu Rantauan mangancang meratapi nasib (melengking tinggi sambil meratapi nasib), sedangkan lagu Pasisiran mangancang tapi ba-arti (melengking tinggi memiliki tujuan tertentu)
* Lagu (Pantun) Pandahan yaitu lagu-lagu Japin yang berasal dari Hulu Sungai (Banjar Hulu) yaitu dari Kota Rantau sampai Tanjung. Lagu ini disebut juga Lagu Tirik, karena dinyanyikan ketika urang ma-irik banih (orang yang sedang memisahkan bulir-bulir padi dengan tangkainya dengan cara diinjak-injak ketika panen). Lagu ini dinyanyikan sambil baturai (bersahut-sahutan, berbalas), dimana kata akhir sebuah bait dipakai lagi menjadi awal bait yang selanjutnya, contohnya lagu Paris Barantai ciptaan H. Anang Ardiansyah.
* Lagu (Pantun) Pasisiran yaitu lagu yang berkembang di daerah pesisiran Kota Baru (Sigam), yang dinyanyikan melengking-lengking dengan nada tinggi (karena ada sedikit pengaruh Bugis). Contohnya, lagu Japin Sigam yang mengiringi tari Japin Sigam. Lagu yang bernuansa pasisiran lainnya yaitu lagu Intan Marikit ciptaan Agit Kursani.
Ketiga jenis tersebut di atas merupakan jenis lagu-lagu Musik Panting. Pada musik panting yang asli di daerah Banjar di pakai tiga jenis alat musik saja yaitu panting (gambus), babun (gendang) dan agung (gong). Di daerah rantauan yang berbau Arab-Indonesia ditambahan alat musik kaprak. Dan ada pula yang menambahkan tamborin. Lagu Pandahan di Hulu Sungai menggunakan babun (gendang) sebagai unsur yang dominan, juga terdapat rebab dan terbang. Penambahan babun yang bunyinya menghentak-hentak sangat sesuai karena sering dipakai sebagai pengiring ba-kuntau (silat). Sedangkan Lagu Pasisiran ditambahkan biola (pengaruh Arab), karena fungsinya sebagai pengiring tarian Japin (Zafin) dengan hentakan kaki yang khas (kapincalan). Dari sinilah adanya unsur biola pada musik panting.
Sebagai pungkala (patron) dalam mengambil penciptaan jenis lagu Banjar dari 3 macam irama (cengkok):
* Dundam yaitu lagu-lagu yang agak sedih, seperti orang manggarunum (bergumam) tetapi dinyanyikan, misalnya menyanyikan lagu ketika mengayun anak dalam ayunan (menidurkan). Jenis ini juga dipakai sebagai nyanyian yang bercerita sejarah seperti kisah Putri Junjung Buih yang menyayat hati. Contoh irama dundam adalah lagu Tatangis ciptaan Hamiedan AC.
* Madihin yaitu lagu-lagu pada kesenian madihin. Contoh lagu irama madihin adalah lagu Dayuhan wan Intingan ciptaan H. Anang Ardiansyah
* Lamut yaitu lagu-lagu pada kesenian ba-lamut.
Lagu Ampar-Ampar Pisang ciptaan Thamrin, tapi dirilis oleh Hamiedan AC dan lagu Paris Barantai ciptaan H. Anang Ardiansyah merupakan dua lagu yang menjadi kiblat dalam mencipta lagu daerah Banjar. Hal ini karena kedua lagu inilah yang pertama kali direkam dan dikenal banyak orang.
Jenis-jenis pantun (lagu) tersebut antara lain :
* Lagu (Pantun) Rantauan yaitu lagu-lagu yang berkembang di sepanjang tepian sungai khususnya di daerah Banjar Kuala. Ciri-ciri lagu ini beralun-alun dan bergelombang-gelombang seperti gelombang sungai dan seperti orang yang meratapi nasib. Perbedaan lagu Rantauan dengan lagu Pasisiran, misalnya pada lagu Rantauan mangancang meratapi nasib (melengking tinggi sambil meratapi nasib), sedangkan lagu Pasisiran mangancang tapi ba-arti (melengking tinggi memiliki tujuan tertentu)
* Lagu (Pantun) Pandahan yaitu lagu-lagu Japin yang berasal dari Hulu Sungai (Banjar Hulu) yaitu dari Kota Rantau sampai Tanjung. Lagu ini disebut juga Lagu Tirik, karena dinyanyikan ketika urang ma-irik banih (orang yang sedang memisahkan bulir-bulir padi dengan tangkainya dengan cara diinjak-injak ketika panen). Lagu ini dinyanyikan sambil baturai (bersahut-sahutan, berbalas), dimana kata akhir sebuah bait dipakai lagi menjadi awal bait yang selanjutnya, contohnya lagu Paris Barantai ciptaan H. Anang Ardiansyah.
* Lagu (Pantun) Pasisiran yaitu lagu yang berkembang di daerah pesisiran Kota Baru (Sigam), yang dinyanyikan melengking-lengking dengan nada tinggi (karena ada sedikit pengaruh Bugis). Contohnya, lagu Japin Sigam yang mengiringi tari Japin Sigam. Lagu yang bernuansa pasisiran lainnya yaitu lagu Intan Marikit ciptaan Agit Kursani.
Ketiga jenis tersebut di atas merupakan jenis lagu-lagu Musik Panting. Pada musik panting yang asli di daerah Banjar di pakai tiga jenis alat musik saja yaitu panting (gambus), babun (gendang) dan agung (gong). Di daerah rantauan yang berbau Arab-Indonesia ditambahan alat musik kaprak. Dan ada pula yang menambahkan tamborin. Lagu Pandahan di Hulu Sungai menggunakan babun (gendang) sebagai unsur yang dominan, juga terdapat rebab dan terbang. Penambahan babun yang bunyinya menghentak-hentak sangat sesuai karena sering dipakai sebagai pengiring ba-kuntau (silat). Sedangkan Lagu Pasisiran ditambahkan biola (pengaruh Arab), karena fungsinya sebagai pengiring tarian Japin (Zafin) dengan hentakan kaki yang khas (kapincalan). Dari sinilah adanya unsur biola pada musik panting.
Sebagai pungkala (patron) dalam mengambil penciptaan jenis lagu Banjar dari 3 macam irama (cengkok):
* Dundam yaitu lagu-lagu yang agak sedih, seperti orang manggarunum (bergumam) tetapi dinyanyikan, misalnya menyanyikan lagu ketika mengayun anak dalam ayunan (menidurkan). Jenis ini juga dipakai sebagai nyanyian yang bercerita sejarah seperti kisah Putri Junjung Buih yang menyayat hati. Contoh irama dundam adalah lagu Tatangis ciptaan Hamiedan AC.
* Madihin yaitu lagu-lagu pada kesenian madihin. Contoh lagu irama madihin adalah lagu Dayuhan wan Intingan ciptaan H. Anang Ardiansyah
* Lamut yaitu lagu-lagu pada kesenian ba-lamut.
Lagu Ampar-Ampar Pisang ciptaan Thamrin, tapi dirilis oleh Hamiedan AC dan lagu Paris Barantai ciptaan H. Anang Ardiansyah merupakan dua lagu yang menjadi kiblat dalam mencipta lagu daerah Banjar. Hal ini karena kedua lagu inilah yang pertama kali direkam dan dikenal banyak orang.
WISATA YANG WAJIB UNTUK DIKUNJUNGI
Masjid Raya Sabilal Muhtadin
Ini merupakan masjid terbesar di Kota Banjarmasin, letaknya di sebelah barat Sungai Martapura. Setelah puas seharian jalan-jalan mengelilingi Banjarmasin,
sore harinya menjadi waktu terbaik untuk mengarahkan langkah kaki ke
masjid ini. Walaupun letaknya di dalam pusat kota, pemandangan senja di
masjid ini lumayan memukau. Saat matahari masuk ke peraduannya berganti
dengan malam, kita dapat menyaksikan pemandangan sunset yang memukau. Tidak jauh dari lokasi masjid terdapat taman yang biasa dijadikan tempat nongkron oleh anak muda.
Taman Siring Martapura
Taman ini letaknya tepat di depan Masjid Raya Sabilal Muhtadin, hanya dipisahkan oleh jalan. Sesuai dengan namanya, taman ini berlokasi di tepian sungai Martapura yang membelah Banjarmasin. Taman ini sangat cocok digunakan untuk nongkrong melepas lelah setelah seharian mengitari kota. Kita dapat menyaksikan perahu klotok dan jukung berseliweran. Saat hari masih lumayan terang para pemancing juga banyak yang nongkrong di sini.
Pasar Terapung Kuin
Ini dia atraksi utama di Kota Seribu Sungai, pasar terapung. Agar tidak kecewa, usahakan untuk datang pagi sekali ke Pasar Terapung Kuin. Pasar dimulai pukul 5.00 WIB hingga sekitar pukul 7.00 WIB. Memang pasar terapung ini sudah mulai sepi, tidak seramai dulu. Peradaban sungai mulai tergusur derasnya pembangunan di daratan. Namun kita tidak akan kecewa karena selain ke pasar juga bisa sekalian menyaksikan Sungai Barito, Jembatan Barito, Pulau Kembang, dan Masjid Sultan Suriansyah.
Pasar Terapung Lok Baintan
Kalau belum puas menyaksikan atraksi pasar terapung di Kuin, esok harinya kita bisa menyaksikan yang lebih ramai. Pasar Terapung Lok Baintan. Pasar yang berlokasi di Sungai Martapura ini memang lebih ramai dibandingkan Pasar Terapung Kuin. Namun lokasinya juga lebih jauh dari pusat kota. Sebaiknya berangkat lebih pagi juga, supaya tidak melewatkan momen-momen menarik di pasar yang unik ini.
Masjid Sultan Suriansyah
Masjid ini sarat dengan nilai sejarah. Saksi bisu perkembangan Kota Banjarmasin. Masjid Sultan Suriansyah dibangun di masa kekuasaan Kerajaan Banjar. Usianya diperkirakan sudah 450 tahun. Tempat wisata bersejarah ini adalah bonus kalau kita mengunjungi Pasar Terapung Kuin. Kita dapat mampir ke sini saat perjalanan pulang dari pasar karena lokasinya yang memang searah.
Pasar Intan di Kota Martapura
Obyek wisata ini sebenarnya sudah di luar Kota Banjarmasin. Tapi tetap saya masukkan di sini karena kita dapat singgah ke Kota Martapura saat kita mengunjungi Banjarmasin. Tentu saja dengan satu syarat, waktunya mencukupi untuk menjelajah ke tempat ini. Di pasar ini kita dapat berburu batu permata intan dengan kualitas yang bagus dengan harga bervariasi. Kita juga bisa mendapatkan oleh-oleh khas Banjar di pasar ini.
Pendulangan Intan
Letaknya di Desa Pumpung, sekitar 30 menit dari pusat Kota Martapura. Di sini kita akan menyaksikan bagaimana para pendulang intan bekerja untuk mendapatkan intan yang dikagumi banyak orang. Kalau mau, bisa juga ikut mencoba mendulang intan. Di lokasi ini juga terdapat beberapa sentra industri rumah tangga yang mengolah intan mentah menjadi batu-batu permata yang siap digunakan.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Banjarmasin
Taman Siring Martapura
Taman ini letaknya tepat di depan Masjid Raya Sabilal Muhtadin, hanya dipisahkan oleh jalan. Sesuai dengan namanya, taman ini berlokasi di tepian sungai Martapura yang membelah Banjarmasin. Taman ini sangat cocok digunakan untuk nongkrong melepas lelah setelah seharian mengitari kota. Kita dapat menyaksikan perahu klotok dan jukung berseliweran. Saat hari masih lumayan terang para pemancing juga banyak yang nongkrong di sini.
Pasar Terapung Kuin
Ini dia atraksi utama di Kota Seribu Sungai, pasar terapung. Agar tidak kecewa, usahakan untuk datang pagi sekali ke Pasar Terapung Kuin. Pasar dimulai pukul 5.00 WIB hingga sekitar pukul 7.00 WIB. Memang pasar terapung ini sudah mulai sepi, tidak seramai dulu. Peradaban sungai mulai tergusur derasnya pembangunan di daratan. Namun kita tidak akan kecewa karena selain ke pasar juga bisa sekalian menyaksikan Sungai Barito, Jembatan Barito, Pulau Kembang, dan Masjid Sultan Suriansyah.
Pasar Terapung Lok Baintan
Kalau belum puas menyaksikan atraksi pasar terapung di Kuin, esok harinya kita bisa menyaksikan yang lebih ramai. Pasar Terapung Lok Baintan. Pasar yang berlokasi di Sungai Martapura ini memang lebih ramai dibandingkan Pasar Terapung Kuin. Namun lokasinya juga lebih jauh dari pusat kota. Sebaiknya berangkat lebih pagi juga, supaya tidak melewatkan momen-momen menarik di pasar yang unik ini.
Masjid Sultan Suriansyah
Masjid ini sarat dengan nilai sejarah. Saksi bisu perkembangan Kota Banjarmasin. Masjid Sultan Suriansyah dibangun di masa kekuasaan Kerajaan Banjar. Usianya diperkirakan sudah 450 tahun. Tempat wisata bersejarah ini adalah bonus kalau kita mengunjungi Pasar Terapung Kuin. Kita dapat mampir ke sini saat perjalanan pulang dari pasar karena lokasinya yang memang searah.
Pasar Intan di Kota Martapura
Obyek wisata ini sebenarnya sudah di luar Kota Banjarmasin. Tapi tetap saya masukkan di sini karena kita dapat singgah ke Kota Martapura saat kita mengunjungi Banjarmasin. Tentu saja dengan satu syarat, waktunya mencukupi untuk menjelajah ke tempat ini. Di pasar ini kita dapat berburu batu permata intan dengan kualitas yang bagus dengan harga bervariasi. Kita juga bisa mendapatkan oleh-oleh khas Banjar di pasar ini.
Pendulangan Intan
Letaknya di Desa Pumpung, sekitar 30 menit dari pusat Kota Martapura. Di sini kita akan menyaksikan bagaimana para pendulang intan bekerja untuk mendapatkan intan yang dikagumi banyak orang. Kalau mau, bisa juga ikut mencoba mendulang intan. Di lokasi ini juga terdapat beberapa sentra industri rumah tangga yang mengolah intan mentah menjadi batu-batu permata yang siap digunakan.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Banjarmasin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar